Tidak terasa sudah satu tahun lamanya menekuni pekerjaan menjadi seorang terapis anak berkebutuhan khusus. Profesi yang barangkali jarang dipilih oleh seorang sarjana psikologi seperti saya. Yap, ketika teman-teman saya banyak yang lebih memilih menjadi seorang HR di berbagai perusahaan, saya pun memantapkan diri menekuni profesi ini setelah mendapatkan gelar S.Psi di belakang nama saya.
Bagaimana
rasanya? Kalo kata anak tiktok jaman sekarang Ah mantap! Ditendang? Pernah. Dipukul? Sering. Digigit?
Hampir setiap hari. Tapi justru itu tantangannya yang bikin saya selalu
semangat tiap bangun pagi dan berpikir hari ini bakalan menghadapi pasien yang
seperti itu apa yaaa. Apa saja anak yang saya tangani? Bermacam-macam. Mulai
dari paling ringan seperti speech delay murni sampai autis berat, ADHD hingga
yang punya gangguan emosi seperti jedotin kepala ke dinding atau lantai setiap
kali keinginannya tidak dituruti.
Kali
ini saya akan bercerita mengenai sebuah proses terapi di klinik saya. Ya, kami
menyebutnya kurang lebih sebagai klinik. Itulah kenapa anak-anak yang menjalani
terapi kami sebut pasien. Tesla theraphy center. Fyi, ini satu-satunya klinik
di kalbar yang di dalamnya para terapis benar-benar menempuh pendidikan sesuai
dengan bidangnya. Jadi saya bersyukur bisa menjadi bagian dari klinik ini. Di dalamnya
ada 4 sub terapi yaitu Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara dan Terapi
Perilaku
Biar
saya tebak, pasti yang ada dipikiranmu sekarang “Oh ternyata ada yaaa jurusan
begitu saat kuliah?” “Yap, adaaa!” Jadi seorang fisoterapist saat kuliah
dulunya mengambil jurusan fisoterapi, begitupula dengan terapis wicara dan
terapis okupasi. Saat kuliah keduanya menempuh jurusan okupasi terapi dan
terapi wicara. Usut punya usut di Indonesia hanya ada 2 kampus yang punya
jurusan okupsi terapi begitu juga dengan jurusan terapi wicara. Itulah kenapa
keberadaan terapi wicara dan okupasi terapis super duper langka. Sementara
seorang terapis perilaku biasanya berasal dari jurusan psikologi karena teori
dasar yang dipakai dalam metode terapi berasal dari teori psikologi.
Nah,
sehabis membaca tulisan ini saya harap para orangtua atau siapapun yang sedang
mencari tempat terapi bisa kroscek terlebih dahulu ya latar belakang
pendidikannya. Buat kamu yang bingung kenapa tadi di awal saya menyebut bahwa
sarjana psikologi biasa jadi HR. Saat kuliah kami bisa memilih konsentrasi
untuk kami dalami, saya sendiri memilih konsentrasi klinis yang berkutat pada
psikologi abnormal.
Okey, back to the topic
yaa, saya akan menjelaskan secara ringkas ke 4 terapi yang ada di klinik saya
tadi. Dimulai dari terapi perilaku atau behavior
theraphy. Terapi perilaku adalah salah satu terapi yang diberikan pada anak
berkebutuhan khusus dimana terapi ini difokuskan kepada kemampuan anak merespon
terhadap lingkungan dan mengajarkan anak perilaku-perilaku yang umum. Metode
yang dipakai dalam terapi ini adalah Applied
Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Lvar Lovaas,PhD dan University
of California Los Angeles (UCLA). Nah teori dasar dari behavioristik yang
digunakan dalam teori ini adalah stimulus-respon. Jadi gampangnya, misalnya ada
yang memanggil seharusnya respon yang diberikan anak adalah menoleh. Tujuan
dari terapi perilaku adalah menghilangkan perilaku-perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial, kaya benturin kepala ke dinding atau lantai dan membangun perilaku-perilaku baru yang
secara sosial bermanfaat dan dapat diterima.
Kemudian,
fisoterapi yang merupakan ilmu yang menitikberatkan atau menstabilkan atau
memperbaiki gangguan fungsi gerak atau fungsi alat tubuh yang terganggu untuk
kemudian diikuti dengan proses atau metode gerak. Biasanya anak yang mendapat fisoterapi
adalah yang punya penyakit yang memengaruhi kondisi fisik seperti celebral palsy, atau terlambat
berkembang dalam proses fisik, seperti sudah dua tahun belum bisa berdiri, atau
yang memiliki kaki flatfoot.
Selanjutnya,
ada okupasi terapi, terapi yang
membantu proses mengenal, mengubah, & membedakan sensasi dari system
sensori menjadi respon berupa perilaku adaptif yang bertujuan. Terapi ini dapat
meningkatkan kemampuan anak seperti koordinasi gerak tubuh, kemampuan motorik
kasar dan halus, dan kemampuan mempertahankan atensi dan konsentrasi.
Terakhir
adalah terapi wicara, terapi ini
fokus terhadap melatih
kemampuan anak berbicara,
melatih otot mulut, lidah, dan tenggorokan. Setiap klinik tentu memiliki
peraturan yang berbeda. Di klinik saya sendiri tidak semua anak diberikan kelas
terapi wicara hanya yang sudah mampu mempertahkan fokus, atensi serta memahami
perintah dengan baik. Terapis perilaku lah yang bisa memberikan rekomendasi
apakah anak sudah bisa diberikan intervensi terapi wicara.
Selama menjadi
seorang terapis ga jarang sih orang-orang terdekat konsultasi mengenai adek,
kenalan, atau anaknya. Setelahnya nanya kenapa?respon terhadap perintah gimana?
Ada riwayat sakit keras gak. Setelah ngasi saran yang sekiranya bisa dilakuin
sama orang-orang terdekat si anak, biasanya saya akan menyarankan untuk
dilakukan assessment jika berdasarkan cerita si anak sudah mengalami
keterlambatan perkembangan. Gimana sih cara tau anak itu punya keterlambatan.
Penting banget bagi seorang ibu tau fase dan tugas perkembangan apa aja yang
harus dikuasi oleh anak. Sebenarnya banyak banget teori dan fase perkembangan.
Tapi saya akan membahas sedikit fase yang agaknya lebih nyaman dipahami oleh
para ibu karena hampir semua orangtua yang datang memiliki keluhan anaknya
terlambat berbicara.
Tahap pertama,
Reflexive Vocalization (Suara Refleks). Bayi normal yang baru dilahirkan sampai kurang lebih berusia
tiga minggu, seluruh aktivitasnya masih bersifat refleks. Memasuki minggu ke empat, suara tangisan
yang diperdengarkannya akan mulai berbeda. Misalnya akan terdengar berbeda
antara tangisan karena lapar atau kedingina.. Perbedaan suara tangisan tersebut
tetap masih merupakan peristiwa refleks. Tahap kedua Babbling (Merabah). Tahap ini
dimulai pada bayi usia enam sampai dengan tujuh minggu. Pada tahap ini, bayi
seolah-olah senang mengulang-ngulang bunyi yang dibuatnya. Namun hal tersebut
masih tergolong aktivitas yang bersifat refleks. Bunyi-bunyi yang dihasilkan
dapat terdengar seperti orang berkumur-kumur dan mirip bunyi-bunyi vokal. Pada
minggu-minggu selanjutnya terdengar bunyi-bunyi seperti konsonan p, b, g, n,
juga m. Yang jika dikombinasikan dengan bunyi-bunyi yang mirip bunyi vokal
terdengar seperti suku kata misalnya pa... pa.. ba... ba... ga…ga..
Tahap ketiga yaitu, Lalling (Mengoceh). Beberapa ahli
menyebut tahap ini sebagai tahap jargon, dan dimulai pada usia enam bulan. Pada
tahap ini bayi sedang melatih dirinya secara sengaja untuk menuju kepengucapan
bentuk kata. Bunyi, suara yang diperdengarkan adalah yang benar-benar telah
didengarnya. Pada masa ini bayi telah memiliki feedback auditory. Tahap inilah
yang menjadi batasan apakah bayi memiliki pendengaran normal atau tunarungu.
Bayi dengan tunarungu akan mulai diam atau tidak mengoceh lagi pada tahap
ini.
Tahap keempat, Echolalia (Meniru). Tahap
echolalia dimulai pada usia sembilan atau sepuluh bulan. Pada tahap ini
terjadi pungulangan suku kata maupun kata yang memiliki makna, anak bukan lagi
mengulang-ngulang apa yang dikatakannya sendiri, tapi mengulang apa yang telah
didengar dari lingkungannya. Dalam hal meniru apa yang didengarnya,
mulai diikuti pula dengan penggunaan gerak tangan dan bahasa tubuh.
Namun hal ini belum diiringi dengan pemahaman tentang arti atau makna yang
terkandung dari kata-kata yang diujarkannya. Tahap terakhir True Speech (Bicara Benar)
Dimulai dari usia 12-18 bulan, True Speech merupakan tahapan akhir bahasa.
Pengertian bicara benar disini adalah bicara anak benar-benar mengandung makna
sesungguhnya yang keluar dari pusat bahasa di otak dan mewakili suatu
maksud / tujuan. Dalam hal ini, anak sudah mengerti atau memahami makna dari
kata yang diujarkannya, dan meskipun artikulasinya masih belum sempurna atau
terdengar belum jelas, namun si pendengar dapat menangkap maksud dari apa yang
ia ujarkan.
Nah
apabila sudah tau bahwa anak memiliki keterlambatan perkembangan, langkah
paling baik yang bisa dilakukan adalah melakukan asesmen. Pada proses assement
akan dilakukan wawancara dan observasi pada anak. Biasanya setelah dilakukan
asesmen, assessor akan akan memberikan rekomendasi terapi apa saja yang
dibutuhkan oleh sang anak. Ya, kaya resep gitu sesuai kebutuhan si anak. Nah
setelah itu admin akan mencocokan jadwal terapis yang kosong, apabila penuh
akan masuk ke daftar tunggu.
Kalau
ditanya terus berapa lama sih proses terapi berlangsung dan faktor apa saja
yang memengaruhi kesuksesan terapi? Tentunya ada beberapa seperti usia anak
saat pertama kali mengikuti terapi, pola asuh orang tua, iq anak, pengulangan
kembali materi yang telah diberikan, intesitas datang terapi hingga beratnya
gangguan atau hambatan yang dialami anak. Saya pernah megang anak dengan kasus speech delay dengan pengalaman traumatik.
2 minggu pertama nangis-nangis hebat. Tidak mau duduk atau bergerak. Selalu
berteriak “aduh”. Alhamdulillah setelah 2 bulan si anak bisa lulus dari kelas
saya dengan kosa kata cukup banyak. Setelah lulus dari kelas BT, saya
rekomendasikan untuk masuk ke TW agar memperlancar kemampuan berbahasanya.
Menurut
saya pribadi, salah satu faktor terpenting adalah dukung dari orangtua dan sebuah
penerimaan. Yap, penerimaan dari orang tua anak sendiri. Saya yakin naluri
seorang ibu itu kuat sekali. Memberi yang terbaik bagi anak tentu menjadi
prioritas. Tapi saya juga percaya kalau setiap ibu pasti bisa merasakan jika
anaknya berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa ibu yang datang
saat usia anaknya sudah 4 tahun namun ada ibu yang membawa anaknya saat usia 2
tahun. Apa pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi?
Saya rasa
semua ibu kesadaran yang sama namun ga semua ibu mampu menerima lebih awal
bahwa anaknya berbeda dengan anak-anak pada umunya. Beberapa merasa kalau
anaknya baik-baik aja walau sudah mendekati usia 2 tahun belum bisa
mengeluarkan sepatah katapun. Buat saya penerimaan si ibu ini jadi salah satu
faktor penting keberhasilan terapi. Buat lebih gampang saya bakalan kasi 2
cerita nyata yang saya alami sendiri yaa.
Ada Ibu A, Ibu
A ini dari anaknya umur 2 tahun udah ngeh banget kalo tiap dipanggil gak noleh,
belum bisa ngomong, dan memiliki keterlambatan serta beberapa ciri khas autis. Saat
usia 2 tahun lebih ibu A sudah membawa anaknya untuk assessment. Setiap sesi
diskusi setelah proses terapi, Ibu A mendengarkan dengan seksama, mengiyakan,
dan mengulangi kembali di rumah.
Ada lagi Ibu B
yang anaknya memiliki kesamaan dengan ibu A hanya saja ibu A baru membawa
anaknya untuk assement saat usianya sudah 4 tahun. Setiap sesi terapi, setiap
kali saya menjelaskan bahwa anak ibu B belum mau merespon perintah dengan baik,
ibu B selalu mengatakan “tapi di rumah mau kok mbaa, bisaa”. Materi yang
diajarkan juga jarang diulangi di rumah. Ibu B ini masih merasa anaknya
baik-baik aja dan normal selayaknya anak pada umumnya walau sudah memiliki
kecenderungan kearah autis.
Setahun
kemudian, anak ibu A dengan izin Allah memiliki progress yang signifikan. Sudah
mampu menyebutkan banyak kata, merespon jika dipanggil, ciri khas autis
berkurang. Sedangkan, anak ibu B tidak memiliki kemajuan yang berarti.
Orang tua yang
sudah menerima bahwa anaknya memiliki keistimewaan akan lebih mudah untuk
diarahkan, terbuka saat diajak diskusi terkait perkembangan anak, dan cenderung
lebih menerima saran dari proses terapi.
Nyatanya
penerimaan itu tidak hanya sekali atau dua kali kita upayakan, tapi setiap
hari. Seringkali selama proses terapi saya mengatakan “Sabar”. “Tidak marah”,
“Tenang”., kadang saya merasa kata-kata tersebut lebih cocok saya tujukan pada
diri sendiri. Pekerjaan saya mengajari mereka tapi justru saya yang belajar
banyak dari mereka. Berada didekat mereka mengajarkan saya untuk banyak
bersyukur, melihat perjuangan kedua orang tua mereka membuat hati saya
tergerakan untuk berjuang lebih keras.
Lelah,
capek, jenuh manusiawi kita rasakan saat harus mengurus mereka selama 24 jam.
Tapi jika melihat dari kacamata iman saya merasa kelak kesusahan itu yang akan
memberikan kita kemudahan di kemudian hari. Terbayang di hari akhir kelak,
mereka menyambut kita dengan senyuman hangat dan bersaksi bahwa selama dunia
kita telah mengurus mereka dengan sebaik-baik kemampuan kita.
Semangat untuk para orang tua yang
dianugerahi anak istimewa. Kalian hebat
Note: Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes menulis yang diadakan oleh generos.